Sabtu, 07 November 2009

ABSURDITY..... BINGUNG EMBOH WESSSS.....

Aku mulai berpikir. Setelah termimpikannya aku kemarin hari. Aku mulai berpikir. Seperti apa pelengkap yang aku butuhkan? Mungkinkah segamblang itu mimpiku? Mungkinkah sejelas dan itulah jawaban? Aku mulai meragukannya. Jika itu adalah sebuah jawaban dari yang selama ini aku cari, aku berpikir “ajaib sekali”. Sedangkan yang aku yakini mimpi itu dari Tuhan. Dan sedangkan aku tak begitu dekat denganNya. Memang aku mencintaiNya, aku berusaha mencintaiNya. Tapi aku merasa tak pantas untuk mendapatkan mimpi yang segamblang itu untukku dijadikan sebuah petunjuk. Mungkinkah Dia memberi petunjuk ini karena Dia masih mencintaiku, atau hanya sebuah ujian, cobaan atau teguran yang diberikanNya padaku?
Tapi untuk saat ini aku meyakini bahwa paling tidak itu adalah sebuah petunjuk. Bukan karena aku ini orang aneh yang sedang putus asa hingga percaya begitu saja dengan mimpi. Tapi dari keyakinan agamaku, Islam, bahwa mimpi adalah termasuk tingkatan terrendah dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada manusia. Kalau tidak salah mimpi adalah petunjuk Tuhan yang ada pada tingkatan ke empat puluh sekian. Aku tak tahu pastinya. Dan tidak hanya sekali aku membuktikan bahwa mimpi itu adalah petunjuk. Terlalu banyak cerita bahwa aku telah membuktikan kebenaran dari mimpiku. Mungkin kau tidak akan percaya ketika aku menceritakannya. Keyakinanku tentang mimpi ini sebenarnya bermula sejak aku masih duduk di kelas 3 SMA.
Yang aku pertanyakan sekarang ialah, apa arti dari mimpi itu? Apakah memang segamblang itu? Apakah wanita yang berada dalam mimpiku itu adalah makhluk yang bisa mengisi kekosonganku ini? Atau itu hanyalah sebuah simbol. Simbol bahwa seseorang yang bisa menjadi pelengkapku dan aku bisa menjadi pelengkapnya adalah wanita yang telah aku lewatkan. Atau mungkin….. sebentar biarkan aku berpikir. Atau mungkin anugerah pelengkapku itu adalah seseorang yang tak jauh dari kehidupanku saat ini. Dia adalah seseorang yang dahulu aku pernah mencoba untuk membuka hati namun sekarang aku menutupnya kembali. Namun belum tentu seseorang itu adalah orang yang berada dalam mimpiku itu. Entah. Aku tak mau memikirkannya lagi siapakah seseorang itu.
Namun satu yang terus membuatku bertanya-tanya. Sebenarnya pelengkap seperti apa yang aku butuhkan? Karakter seseorang seperti apa yang aku butuhkan hingga dia bisa menjadi pelengkapku dan aku menjadi pelengkapnya? Kalau berbicara tentang keinginanku atau kemauanku, bukan tentang kebutuhanku, tentu saja aku akan berkata aku ingin wanita sempurna. Namun dari kesempurnaan itu aku yakin dia belum tentu bisa menjadi pelengkapku. Sempurna itu relatif bagi setiap orang. Karena setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan yang harus diimbangi dengan kelebihan dan kekurangan orang lain. Bukan dengan kesempurnaan, kelebihan dan kekurangan akan mencapai keseimbangan.
Lalu aku bertanya-tanya, apa kelebihan dan kekuranganku? Siapakah sejatinya diriku? Apa aku ini? Orang-orang mengenalku sebagai siapa? Aku ingin tahu itu semua, agar aku mengenali diriku sendiri. Aku ingin mengenal diriku sendiri seperti aku sedang berkaca. Agar aku tahu aku membutuhkan pelengkap seperti apa. Aku ingin tahu kekuranganku di mana, dan jika aku sudah tahu itu aku akan lebih mudah menganalisa kebutuhanku. Jika aku adalah orang yang antipati maka aku butuh orang yang penuh dengan simpati. Jika aku adalah orang yang keras, aku akan jadikan seseorang yang penuh dengan kelembutan sebagai pelengkapku. Jika aku kuat, maka aku akan hadir sebagai penguatnya. Aku ingin bersandar padanya, dan dia pun bersandar padaku. Aku ingin tahu siapa sejatinya diriku dan apa yang aku butuhkan. Aku ingin keseimbangan dalam hidupku.
*Sepertinya pembahasan ini bakalan sedikit lebih panjang.
*Selama ini aku berusaha untuk seimbang dalam hidup. Aku selalu berusaha untuk menseimbangkan karakter, kepribadianku, pemikiranku. Tentang kelembutan dan kekerasan. Tentang untuk menjadi sanguinis dan melankolis. Untuk menjadi plegmatis dan koleris. Sebenarnya aku bingung apa karakterku saat ini. Selama ini aku selalu berusaha untuk mempunyai setiap karakter dari empat karakter manusia itu. Kata salah seorang temanku, bahwa manusia yang sempurna, manusia yang ideal adalah mereka yang mempunyai karakter dari setiap empat karakter manusia itu dengan porsi yang sama. Namun pada akhirnya aku dibingungkan dengannya. Aku bingung dengan jati diriku sendiri. Aku bingung, aku sebenarnya pada posisi mana. Kalau aku adalah koleris maka mungkin saja seseorang yang bisa menjadi pelengkapku adalah seseorang yang berkarakter plegmatis. Jika aku adalah orang yang sanguinis, maka seseorang yang bisa menjadi pelengkapku adalah seseorang yang berkarakter melankolis. Namun aku bingung. Aku merasa memiliki setiap karakter ini. Hanya saja aku bingung, tentang kecenderungan karakter dominanku. Jika aku menginginkan keseimbangan dan kelengkapan, maka aku harus tahu karakter dominanku dan aku akan menjadikan seseorang yang berkarakter berkebalikan dengan karakterku sebagai pelengkapku, sebagai penyeimbangku.
Dunia ini diciptakan berpasangan dan seimbang. Aku pun menginginkan itu. Aku ingin keseimbangan dalam hidupku.

Jumat, 06 November 2009

APAKAH MIMPI INI ADALAH SEBUAH JAWABAN??

Bangun pukul 9 hari ini. Rasanya aku sudah mulai mengingkari resolusi di tahun 2009 untuk selalu bangun pagi dan cukup tidur tidak lebih dari 6 jam. Walaupun aku memang tidur jam 3, berarti aku tidak tidur lebih dari 6 jam. Tapi aku telah mengingkari untuk bangun tidur pagi.
Semalam, atau tepatnya pagi tadi akuk bermimpi. Mimpi yang sebenarnya tak pernah terpikirkan sebelumnya. Mimpi yang membuatku terhenyak.
Sebelum aku bercerita tentang mimpiku, masih ingatkah semalam kalau aku menulis tentang keinginanku, kebutuhanku akan seorang pelengkap. Kekosongan yang aku rasakan. Lubang yang tiba2 menampakkan wujudnya yang bisa membuatku hanya terdiam terpaku. Mimpiku itu agaknya , mungkin adalah jawaban dari keinginanku itu.
Pagi tadi aku bermimpi, tanganku terjalin pada seorang wanita. Tertaut kuat, dan aku melihat tanganku begitu erat menggenggam tangannya dan dia menggenggam erat tanganku. Kita begitu menjaga satu sama lain. Dan dalam mimpiku itu, kita hendak melampaui sebuah pegunungan yang tinggi besar. Kita hendak melangkah bersama with our hands knoted each other tightly. Aku melihat jariku terjalin kuat pada jarinya. Dan kita saling berpandangan sejenak, dan kitapun berjalan mengarungi pegunungan tinggi besar itu. Saat itu aku merasa bahwa she’s the one. Dialah yang akan benar benar menjadi pelengkap bagiku, yang akan menjagaku dan dia akan kujaga. Kita saling percaya dan kita saling menguatkan. Dan keyakinan kita pada saat itu, tak akan ada satu apa pun yang akan membuat kami jatuh selama kami masih bersama dan berdampingan.
Dan tahukah siapa wanita itu? Sungguh jauh di luar perkiraanku. NK.

Kamis, 05 November 2009

SETELAH SEKIAN LAMA, LUBANG ITU MENAMPAKKAN WUJUDNYA KEMBALI

Tidak seperti biasanya. Setelah bertahun-tahun aku tak pernah merasakan hal ini. Akhirnya rasa ini kembali muncul menampakkan dirinya yang membuatku terdiam. Setelah bertahun-tahun aku sudah melupakan dan tak mencoba untuk mengingatnya kembali. Rasa ini kembali menguasai pikirku. Kekosongan ini. Kehampaan ini. Entah mengapa aku tiba tiba merasakan ini. Tak ada yang memicunya. Rasa itu muncul begitu saja.
Setelah bertahun-tahun. Mungkin telah empat tahun aku melupakan rasa ini. Rasa yang membuatku selalu terpuruk dan apatis terhadap setiap wanita. Rasa yang terus membuatku terasing dari para wanita. Rasa yang membuatku merasakan bahwa ketika aku mendekat pada seorang makhluk cantik, aku merasakan bahwa itu adalah sebuah pengkhianatan. Entahlah.
Rasa ini, yang membuatku kembali lagi ke kota dingin yang tak lagi dingin ini. Sebuah rasa pengharapan pada sesuatu yang absurd. Pada sebuah cita-cita akan keterisian hati ini. Pada sebuah pemenuhan kebutuhan batinku ini. Dan kembali aku merasakannya hari ini.
Aku masih merasa bahagia dalam hidup ini. Hanya lubang dalam hati ini tetap ada. Telah lama aku tak menghiraukannya. Namun, sekarang lubang itu seketika dengan tak sengaja terlihat olehku. Dan ketika aku melihatnya, terus saja tak bisa kualihkan perhatianku darinya. Lubang itu menghantuiku. Namun kali ini aku bisa mengendalikannya. Tak seperti dahulu yang aku tak bisa mengendalika kapan datangnya rasa itu. Sepertinya dahulu, rasa kekosongan itu sudah menjadi identitas dari diriku sendiri.
Kali ini aku hanya berharap semoga dengan diingatkannya aku akan rasa ini, rasa kekosongan ini, memberikanku sebuah pelajaran yang baik bagiku. Untuk tak memuaskan dengan apa yang ada. Untuk tetap mencari yang terbaik. Untuk mencari pelengkap dari segala kekuranganku. Untuk mencari penambal dari lubang di hatiku. Untuk menjadi pelengkap dari seorang makhluk cantik, dan dia pun menjadi pelengkap bagiku.
Bukan sekedar romansa yang aku cari. Bukan sekedar romansa yang aku inginkan. Bukan sekedar romantisme yang aku butuhkan. Sebuah pelengkap dari segala kekuranganku. Seseorang yang bisa menyadarkanku bahwa aku hanyalah manusia biasa yang banyak kekurangan ada pada diriku. Seseorang yang akan menjadi anugerah bagiku, dan aku adalah anugerah baginya. Seseorang yang dapat melengkapi diriku dan aku pun menjadi pelengkap baginya.
Memang aku merasa kesepian di satu titik. Tak aku pungkiri itu. Namun aku tak nelangsa dibuatnya. Masih terlalu banyak kebahagiaan yang bisa aku rasakan dan bisa aku rasakan ketimbang selalu merasa kesepian dan kosong dengan belum hadirnya anugerah cantik itu. Namun memang tak kupungkiri, aku membutuhkan pelengkap yang baginya aku adalah juga pelengkapnya.

Keseimbangan Itu Sulit


Benar-benar tak mudah untuk terus berpikiran objektif. Sangat berat untuk terus berusaha berada di tengah. Lebih mudah untuk berada di salah satu sisi. Tak perlu repot dengan keseimbangan. Tak perlu harus memikirkan sisi lain. Yang dipikirkan hanyalah sisinya saja. Sisi keegoisannya. Tak perlu harus memikirkan kepentingan orang lain, yang ada adalah idealisme egoisme. Bukan lagi idealisme.
Saat mencoba untuk berada di tengah. Untuk berada pada titik netral. Untuk berada di titik nol. Untuk tidak memihak siapapun kecuali pada kebenaran dan keuntungan pada semua pihak. Itu bukanlah perkara yang mudah. Menjadi penengah penuh dengan resiko. Bayangkan bila kita berada di tengah tengah ruas jalan. Untuk terus berdiri tegak dan tidak jatuh dan tertabrak oleh laju kendaraan dari depanmu dan dari belakangmu. Untuk terus teguh di atas kaki pendirian kita. Untuk terus berada sebagai titik penyeimbang dari dua kepentingan yang seakan berlawanan. Bayangkan sebuah timbangan. Besi penyangga sebagai penyeimbang yang berada di tengah itu akan mendapatkan beban terberatnya saat kedua sisi ada pada titik yang sama, yaitu keseimbangan. Pada saat itu, besi itu benar benar menanggung beban terberatnya. Beda apabila timbangan itu tidak berada dalam kondisi keseimbangan. Ekstrimnya, apabila salah satu sisi cawan timbangan itu telah menyentuh tanah dan cawan sisi yang lain tinggi berada di atas permukaan, maka besi penyangga itu benar benar menanggung beban terringan yang ia dapat.
Dari perumpamaan itu, walaupun dari sebuah benda mati tapi tak beda halnya dengan kita. Tak beda dengan manusia. Tak mudah untuk menjadi seorang penyeimbang, seorang negosiator, seorang penengah, seorang pendamai, menjadi orang yang netral, dan menjadi orang yang tetap objektif dalam menilai suatu fenomena. Tak jarang seakan kita mengambil gampangnya saja dengan berpihak pada satu sisi saja, dan kita pun menanggung beban yang sama sekali tidak berat. Tak mau ambil pusing dan “mungkin” kita seakan bebas dari segala beban pikiran. Tapi itu hanya untuk sementara. Tapi pada akhirnya, dengan memilih sikap yang seperti itu, kita akan merugi. Karena kebenaran dan keadilan akan tetap memenangkan kehidupan ini pada akhirnya.
Banyak orang berdalih “mau bagaimana lagi?”, dan itu mereka jadikan sebagai sebuah alasan untuk tidak berada di tengah, untuk menjadi subjektif, untuk netral, untuk terus berada pada posisi seimbang, untuk tidak mau ambil pusing terhadap suatu fenomena. Sejatinya mereka punya pilihan untuk menentukan sikap mereka. Untuk berada di sisi mana mereka akan bersikap. Kanan, kiri, atau tengah. Jika ada yang mengatakan, “tidak ada pilihan”, maka mereka adalah orang orang yang menyerah untuk mencoba. Memang berat untuk mencoba berada di tengah dan tetap seimbang, namun itu bukanlah kemustahilan. Kita telah diberkahi seonggok otak dengan akal. Tak sepatutnya kita menyerah. Tak pantas untuk menunjuk keadaan, kondisi, orang lain atau Tuhan sebagai kambing hitam. Telah lebih dari cukup untuk kita dengan akal ini. Dan dengan iman dan keyakinan, otak didinginkan olehnya.
Bersyukurlah bagi orang orang yang berperan menjadi penengah, menjadi penetral, menjadi penawar, menjadi penyeimbang. Sebuah peran yang mulia yang mereka perankan. Mereka tak terlihat, mereka tak terpandang, mereka juga mungkin dilupakan. Namun apa yang telah mereka perbuat tak akan pernah lekang oleh waktu. Peran mereka yang selalu dirindukan oleh manusia, apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka hasilkan akan dinikmati oleh semua sisi yang mereka seimbangkan. Dan dengan adanya keseimbangan itu, mereka telah cukup dipuaskan. Mereka tak ingin rasa terima kasih dari yang mereka seimbangkan, dari yang mereka damaikan, dari yang mereka ketengahkan. Mereka berbuat itu hanyalah untuk kepuasan batin. Mereka tak ingin dikenang, apalagi dipuja. Mereka hanya ingin bahwa kebenaran dan keadilan adalah yang terbaik. Mereka tak ingin disanjung, mereka tak ingin pujian. Tapi cukuplah bagi mereka, keseimbangan dari sisi yang mereka seimbangkan. Bukan diri mereka yang ingin disanjung, bukan diri mereka yang ingin dipuja, bukan diri mereka sendiri yang ingin disembah. Tapi mereka ingin keadilan dan kebenaranlah yang disanjung, dipuja dan disembah. Terpujilah mereka.

Sedikit Tentang Diriku

Foto saya
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Lelaki yang selalu ramai dalam kesepian dan sepi dalam keramaian.. wah kayak lirik lagunya almarhum Chrisye ya..