Jumat, 30 Januari 2009

Jangan Sampai Menyesal

Terdudukku di teras belakang rumahku. Sesaat mengingat kembali kejadian yang baru saja kualami hari ini. Hari yang indah diawali dengan pagi yang indah. Dan memang menjadi awal bagi hari yang indah bagiku. Teringat kembali peristiwa-peristiwa yang kualami, dari ku berada di jalanan di atas motor tua tapi yang sangat kusayangi, berjalan di lorong kampus yang gelap, memulai kelas yang tak ada satu pun dari mahasiswa kelas yang kukenal, hingga peristiwa saat aku sekedat membayar parkir.

Dan aku teringat. Pada saat duduk santai di kampus tadi aku melihat seorang wanita yang dulu aku kenal baik. Wanita yang seluruh kampus mengenalnya. Wanita yang sering menjadi impian bagi para lelaki dan menjadi bahan pergunjingan para wanita. Tak heran, ia memang cantik, tubuhnya indah semampai, kulitnya bersih, wajahnya ayu, penampilannya menarik. Tak terhitung berapa lelaki yang mencoba mendekatinya. Tak terhitung berapa wanita yang mempergunjingkan dan sirik padanya. Bila ia berjalan di depan kumpulan para lelaki tak pelak bola mata para lelaki mengikuti ke mana dia pergi. Bahkan tak jarang dia menjadi “fantasi’ bagi para lelaki.

Saat itu aku sedang sekedar duduk-duduk melepas lelah bersama teman-teman karibku. Dan dia (wanita yang konon menjadi idaman para lelaki itu) duduk jauh di sampingku di pelataran gedung kampus. Dia sedang bersama lelakinya yang.. yah boleh dikatakan mempunyai penampilan fisik di atas standar. Tapi tidak tahu dengan penampilan nonfisik alias kepribadiannya. Dan pula ia dari keluarga – yang katanya – berpunya.

Sejenak aku melihatnya dan dia melihatku. Beberapa kali kami saling pandang tapi tanpa tegur sapa ataupun hanya sekedar melempar senyuman. Kami saling pandang hanya sekilas pandang dengan wajah dingin. Aku pun terus terus bercengkerama dengan teman-teman karibku tanpa terlalu mempedulikan dia. Dan agaknya demikian juga dengannya. Dan diapun terus bercengkerama denngan lelakinya.Tak terlalu mempedulikanku dan kamipun seolah tak saling mengenal. Dan momen itu berlalu begitu saja tanpa ada sesuatu yang menjadi ganjalan di hatiku.

Tapi pada saat aku duduk merenung di pekarangan belakang rumahku ini, aku berpikir kembali. Mencoba untuk lebih kritis lagi. Kuingat-ingat momen-momen setahun, dua tahun, dan tiga tahun yang lalu. Saat itu tak tahu apa yang terjadi dia sering menelponku, entah sekedar menanyakan kabar, meminta saran atas kesulitan yang dia alami, atau kadang-kadang – yang sekarang baru aku menyadari – seperti telpon basa-basi hanya untuk kami bisa punya kesempatan untuk berbincang. Padahal saat kami bertemu langsung, paling jauh kami hanya sekedar menyapa. Tapi entah pada saat berada di sambungan telepon seolah-olah kami sudah sangat mengenal satu sama lain. Kami berbincang, kami bercanda, kamipun curhat. Hingga tak terasa kami sudah memegang telepon hingga hitungan jam, bukan hitungan menit lagi. Pernah juga dia menjadi model dalam sesi pemotretanku bersama teman-temanku sesama penghobi fotografi. Dan saat kami berpindah lokasi pemotretan tanpa kuduga dia menggandeng tanganku. Tapi bodohnya aku tak menanggapinya terlalu serius, dan kulepas genggaman tangannya.

Entah apa yang aku rasakan dahulu. Dia begitu dekat, tapi aku tak menyadarinya. Entah mungkin dahulu aku masih trauma atau apa. Dulu aku sama sekali mati rasa. Tak ada kepekaan seorang laki-laki pada seorang wanita. Dalam pikiranku seolah tertanam, “tak mungkin dia berperasaan seperti itu.” Sekarang sepertinya aku merasakan rasa yang berbeda dengan saat-saat kami begitu dekat. Sekarang kami seakan jauh, seakan kami sudah tak saling mengenal. Diam-diam ternyata aku menyimpan rasa padanya. Dan hal itu baru aku sadari saat ini. Sekarang diam-diam aku memperhatikan dia, diam-diam au menyimpan harapan padanya, diam-diam aku memimpikan dia. Rasa ini selama ini tak pernah aku sadari sebelumnya. Diriku sendiri terheran dengan rasa ini. Dan pertanyaan timbul, “Mengapa tak dari dulu tumbuh rasa ini? Saat aku dan dia serasa begitu dekat. Saat wajahnya hangat saat kami bertemu.” Dan sekarang semuanya telah berubah. Semuanya telah berbeda. Waktu berjalan. Manusia berubah. Keadaan tak akan pernah sama. Sekarang dia telah bersama lelaki lain. Dan agaknya aku tak punya kesempatan lagi.

Dan senyum simpul di sudut bibir ini terkembang. Aku menyesali kehilanganku atas kesempatan yang dahulu. Tapi saat ini aku hanya bisa bersyukur. Tak ada gunanya merenungi kehilangan. Penyesalan dan kemudian beradai-andai adalah hal yang sia-sia. Memang penyesalan adalah hal yang penting. Penting ketika kita bisa menarik pelajaran darinya. Saat penyesalan itu berbuah pengalaman dan berbuah pelajaran untuk bekal di kantong hati dan pikiran kita di kemudian hari. Dahulu aku telah begitu apatis terhadap sesuatu. Tak tahu apa yang menghantuiku saat itu. Sampai saat ini aku tak bsia mengetahuinya. Tapi yang bisa kusadari adalah, saat yang lalu itu aku telah menyiakan kesempatan yang berbuah penyesalan. Namun syukurku bahwa penyesalan itu berbuah pelajaran yang diberikan Tuhan padaku.

Ini tak hanya mengenai kesempatanku pada seorang wanita. Lebih dari itu. Ini mengenai kesempatan dalam hidup yang diberikan pada kita. Kesempatan tak akan pernah datang dua kali. Aku yakin akan hal itu. Dan semoga anda yakin akan hal itu juga. Mengapa? Karena waktu tak akan pernah terulang kembali. Kesempatan di masa datang (jika ada)bukanlah kesempatan yang sama pada saat ini atau masa yang lalu. Kesempatan itu adalah kesempatan yang sama sekali berbeda. Karena tak ada yang sama persis di dunia ini. Yang kita butuhkan adalah kepekaan kita akan datangnya kesempatan, keberanian untuk melangkahkah kaki kita, dan keteguhan hati bahwa tak ada yang lebih buruk dari kehilangan kesempatan. Jika kita menggunakan kesempatan itu dan hasilnya sesuai dengan harapan kita, kita pasti bersujud syukur telah menggunakan kesempatan itu dengan baik. Namun bila hasilnya tak sesuai dengan pengharapan kita, maka yang perlu diingat adalah bahwa kita tak pernah rugi menggunakan kesempatan itu. Kita telah belajar dalam melihat kesempatan, belajar memberanikan diri untuk melangkah, dan telah belajar untuk megenali potensi yang ada dalam diri kita. Sebagian orang akan berkata, “Mengapa dilakukan bila hasilnya tak ada? Lebih baik tak usah dilakukan.” Bila kita mengalami kegagalan ada dua hal yang mana membedakan dari kita orang-orang yang mengambil kesempatan dengan mereka yang tak mengambil dan mempergunakan kesempatan. Pertama, kita telah belajar bagaimana melihat dan menggunakan kesempatan. Kedua, kita belajar untuk mengatasi ketakutan akan kegagalan. Dan mungkin lebih-lebih yang ke tiga adalah kita lebih mengenal tentang diri kita sendiri. Potensi kita, dan batas-batas yang kita miliki. Berbeda dengan mereka yang tak pernah menggunakan kesempatan dan hanya bisa mengolok-olok orang yang gagal. Mereka adalah orang-orang yang tak punya optimisme. Mereka adalah orang-orang yang apatis dan picik dalam melihat sesuatu. Mereka adalah pengecut dan pecundang yang hanya bisa menertawakan kita yang mengalami kegagalan. Mereka adalah orang-orang manja yang menginginkan kebahagiaan dan kesenangan tanpa daya usaha. Dan bila kita mengalami kegagalan dan mereka mendatangi kita dengan kecongkakan kosong mereka, hanya ingatkan pada diri kita akan kalimat-kalimat di atas. Bahwa mereka jauh tak lebih baik dari kita.

Kita adalah orang yang terus belajar dan dinamis. Kita terus berubah seiring berjalannya masa. Kita mengalami kegagalan, kita mengalami keberhasilan, kita pernah di puncak kejayaan dan kita pernah tersungkur di palung kekalahan. Namun kita tak pernah menyesal. Karena kita selalu bisa mengambil pelajaran dari semua itu. Kekalahan bukan tak ada gunanya. Kemenangan tak menghanyutkan kita. Apabila situasi di sekitar kita seketika berubah di luar prediksi kita, kita tak akan kebingungan mencari pegangan. Karena kita telah berpengalaman dan “terpelajar” dalam kelas “kehidupan”. Namun bagi mereka yang hanya bisa mengolok orang-orang yang gagal, tak akan pernah lama mereka bisa bertahan dalam situasi yang seketika berubah. Sontak mereka akan gelagapan bingung mencari pegangan. Dan seperti domba kehilangan gembalanya, tak tahu mereka akan berjalan ke arah mana.

Dan semoga kita adalah orang-orang yang selalu menggunakan kesempatan dengan penuh rasa optimisme dan keyakinan, bahwa tak ada yang lebih buruk dari kehilangan kesempatan. Semoga.

Semangat untuk kita semua.

Aku Tak Ingin Bidadari

Sejenak aku berangan memiliki kekasih yang sempurna. Seorang kekasih seorang pendamping yang memiliki segala kualitas bidadari. Dengan fisik yang tak akan pernah bosan kita melihatnya. Dengan senyuman yang selalu luluhkan hati, dengan tatapan mata yang menghanyutkan, dengan tutur kata yang lembut, rambut indahnya, perhatiannya yang singkirkan kegelisahan kita, sikapnya yang selalu membuat kita merasa berharga, kepeduliannya yang membuat kita selalu merasa aman, kasihnya yang buat kita seolah menjadi bocah yang berlindung pada ibunya, sayangnya yang singkirkan segala kekejaman dunia, dan cintanya yang membuat kita rela mati bila ditinggalkannya. Yang dengan segala kualitas itu semua manusia akan korbankan apapun demi hanya untuk bersanding dengannya saat dinginnya malam menyambut. Bidadari.

Dan aku berpikir, kekasih seperti itu mungkin hanya ada di surga. Hanya ada di kahyangan langit ke tujuh. Sedangkan aku hanya manusia. Yang – dengan status manusiaku – memiliki kelebihan dan banyak kekurangan. Aku menyadari beberapa kelebihan yang dianugerahkan padaku dan aku menyadari sedikit dari banyak kekurangan yang aku punyai. Entah orang lain menyadarinya atau tidak aku tak begitu peduli. Sejatinya manusia menginginkan sesuatu yang lebih, tak ingin merasa kekurangan. Manusia ingin memiliki segalanya. Karena manusia adalah makhluk yang mendambakan kesempurnaan dalam hidup mereka, karena manusia adalah makhluk yang tak pernah merasa puas. Mereka akan selalu menemukan kekurangan dan ketidakpuasan dalam sisi hidup mereka. Dan karena itu aku mendambakan seorang kekasih yang sempurna. Dan karena sifat ke-“manusia”-anku itu aku tak pernah mendapatkan seorang kekasih atau belahan jiwa. Aku tak cukup puas dengan orang-orang yang ada di sekitarku. Selalu ada kekurangan dari mereka yang mengusikku.

Sejenak aku berpikir kembali tentang fitrah manusia atau sifat manusia. Manusia mempunyai keinginan-keinginan yang tak berbatas. Keinginan akan kesempurnaan. Keinginan untuk dikasihi, keinginan untuk dicintai, keinginan untuk disayangi, keinginan untuk diberi. Tahap awal adalah keinginan dan tahap ini pada suatu saat akan meningkat pada tahap kebutuhan. Kebutuhan untuk mengasihi, kebutuhan untuk mencintai, kebutuhan untuk menyayangi dan kebutuhan untuk memberi.

Manusia tak hanya ingin dicintai tak hanya ingin diberi. Pada suatu saat manusia akan sangat membutuhkan untuk mencintai seseorang, untuk memberi cinta. Mengapa? Manusia pada dasarnya akan merasakan mereka begitu berharga ketika mereka bisa melakukan sesuatu untuk orang lain. Dengan memberi dan berbagi manusia akan merasakan penghargaan dalam diri mereka sendiri. Disadari atau tidak, apabila seseorang setelah melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain atau ketika seseorang membantu orang lain, maka orang yang telah memberikan tangannya memberikan penghargaan pada dirinya sendiri. Begitu juga dengan saat kita bisa mencintai seseorang dengan sepenuh hati. Saat kita bisa mencintai seseorang dengan sepenuh hati, kita memberikan penghargaan pada diri kita sendiri.

Maka ketika kurenungkan lagi. Benarkah aku menginginkan seorang kekasih yang sempurna? Benarkah aku menginginkah seorang bidadari yang turun dari langit ke tujuh? Sedangkah aku hanya manusia yang memiliki kekurangan dan juga punya kelebihan. Aku ingin dicintai dan aku ingin mencintai. Aku ingin disayangi tapi aku juga ingin menyayangi. Aku ingin dikasihi namun aku juga butuh mengasihi. Aku memiliki kekurangan dan aku ingin seseorang yaitu kekasihku menutupi kekuranganku. Aku memiliki kelebihan yang telah dianugerahkan padaku, namun aku butuh untuk membagi kelebihanku ini. Karena kelebihan yang telah dianugerahkan pada kita sejatinya bukanlah untuk diri kita sendiri. Dengan berbagi kasih, sayang, cinta yang kumiliki timbul rasa yang begitu nikmat. Timbul rasa yang membuatku kecanduan. Perasaan berharga, perasaan bangga, perasaan senang yang ketika kita bisa berbagi dengan orang lain dan merekapun menerimanya.

Ketika aku mengingat tentang semua itu maka anganku untuk memiliki seorang kekasih bagai bidadari perlahan namun pasti menuju pada sirnanya. Aku ingin mencintai seorang kekasih. Tak hanya dicintai. Aku ingin menjadi pelindung tak hanya dilindungi seperti seorang bocah sembunyi di balik kedua kaki ibunya. Aku ingin menyayangi tak hanya disayangi seperti kucing peliharaan. Aku ingin menjadi pelipur lara, menjadi obat, menjadi penawar racun bagi kekasihku tak hanya sebagai orang sakit yang hanya ingin dirawat. Aku ingin menjadi orang pertama yang menghapus air mata dari pipinya dan tenangkan dia. Aku ingin bahuku menjadi sandaran baginya ketika dia letih dan lelah akan kehidupan dunia. Aku ingin lengannya melingkar di lenganku dan memberikan rasa aman baginya. Aku ingin dia tidur di pelukanku dan belai rambutnya ketika dia dalam lelapnya. Aku ingin hangatkan dia di dinginnya malam. Aku ingin berikan kecupan hangat pada keningnya dan berikan dia kedamaian.

Aku ingin memberi. Aku ingin berbagi. Maka tak lagi kuinginkan seorang bidadari. Manusia yang ingin kucintai. Manusia yang dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Untuknya aku memberikan dan olehnya aku diberikan. Manusia yang bisa lengkapi aku, lengkapi kelebihanku dan tutupi kekuranganku. Aku ingin kesempurnaan manusia. Kesempurnaan manusia yang berkekurangan dan berkelebihan. Kesempurnaan manusia yang tak sempurna. Aku tak ingin kekasih sempurna layaknya bidadari aku ingin kekasih sempurna layaknya manusia. Aku ingin cintai manusia.

REVOLUSI MAHASISWA

Kulalui pagi dengan segelas kopi panas. Kubiarkan tubuh ini terpapar hangatnya mentari. Kumulai hari ini dengan hati yang damai. Berkendara di atas motorku, dan kulalui jalanan yang lalu lalang penuh kendaraan dan udara yang berpolusi. Semua orang sibuk dengan dunianya.

Tak lama berkendara di atas motor keluaran ’98-ku, seketika jalan yang hendak kulalui sedikit macet. “ada apa ini?” batinku. Tak lama ternyata baru kuketahui ada sekelompok mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi. Entah benar-benar mahasiswa yaitu maha-siswa atau anak-anak muda yang tak punya kerjaan lain selain memprotes dan menghujat orang lain daripada memikirkan studi dan hidup mereka. Jumlah mereka tak banyak mungkin hanya sekitar 20 orang saja. Mereka berteriak-teriak dan saling bergandengan membuat lingkaran pertahanan agar mereka tak bisa dibubarkan. Salah satu dari mereka maju di depan dan melakukan orasi dengan menggunakan megaphone. Di depan benteng pertahanan para polisi anti huru hara, dia seolah menjadi seorang pahlawan yang siap mati demi “idealisme” dan demi “kemakmuran rakyat”. Orator muda itu mondar-mandir di depan para polisi dengan gagahnya dengan melontarkan kata-kata provokatif yang apabila didengarkan maka mungkin sejenak akan membuat kita mengangguk setuju. Dia terus saja menghujat dan memprotes kebobrokan dan kebusukan pemerintahan yang ada sekarang.

Memang pada hari ini pemimpin tertinggi di negara yang berbendera merah putih ini datang ke kotaku. Entah hendak melakukan apa dia datang ke kota dingin ini. Sepertinya melakukan rutinitas sebagai seorang pemimpin, meresmikan ini, meninjau itu, inspeksi ini, kunjungan itu. Kulalui saja para mahasiswa yang berdemonstran yang membuat macet jalanan yang sudah sempit ini. Salah satu dari mahasiswa yang berdemonstrasi itu memberikanku selembar kertas buram kecil yang sepertinya berisikan tuntutan, hujatan, kecaman, atau entah apa itu. Tapi kusimpan saja di kantongku, karena tak mungkin kubaca sambil berkendara di atas motorku. Sebelum kulewati kumpulan demonstran itu sepintas kuamati para “mahasiswa” yang sedang berdemonstrasi itu. Kulihat penampilan mereka, ekspresi mereka, mimik wajah mereka, tatanan rambut mereka, baju mereka, bahkan sampai sepatu dan baju yang mereka sandang. Dan kulalui kemacetan beserta para demonstran itu.

Sesampainya di rumah kubaca selembar kertas kecil yang diberikan oleh para demonstran di kemacetan jalan sempit tadi. Dalam selembar kertas (yang mengatasnamakan beberapa aliansi mahasiswa yang tidak jelas karena hanya tertera berupa singkatan bukan nama aliansi lengkap) tertulis kalimat-kalimat provokatif subyektif yang menghujat kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintahan saat ini. Dengan judul “ALIANSI MAHASISWA ANTI BHP. FMN, SMI, FORBAS, SDM, KOMMA. RAKYAT BERSATU LAWAN KEBIJAKAN REZIM SBY YANG ANTI RAKYAT”, para demonstran ini jelas mengecam dan menghujat pemerintahan yang ada saat ini. Dalam artikel provokatif yang terdiri dari 5 paragraf itu terdapat anggapan-anggapan dan pendapat-pendapat tentang kebijakan baru yang dibuat yang mengatur tentang dunia pendidikan perguruan tinggi atau universitas. Dan juga tak ketinggalan di dalam artikel tuntutan itu terdapat tuduhan-tuduhan.

Sepertinya sudah menjadi budaya bahwa mahasiswa yang idealis dan mahasiswa tauladan adalah mereka yang melakukan aksi demonstrasi dan menghujat pemerintahan yang ada. Mahasiswa yang menjadi pihak oposisi bagi rezim yang ada. Mahasiswa yang selalu “menuntut perubahan”. Memang mahasiswa di Indonesia adalah tonggak perubahan bagi nasib negara untuk menjadi lebih baik. Berdasarkan pada sejarah yang telah dilalui oleh Indonesia, mahasiswa dan pemuda memang sebagai tonggak-tonggak dan tiang dari perubahan. Perubahan yang lebih baik tentunya. Dari zaman Budi Utomo sampai Soe Hok Gie sampai pada sejarah reformasi pada tahun 1998 para pemuda dan mahasiswa menjadi orang-orang yang diakui keberadaannya. Mereka sering dianggap sebagai pahlawan dan parlemen jalanan.

Namun dari apa yang saya alami pagi tadi agaknya membuat saya mengernyitkan dahi. Pertanyaan terbesit dalam hati saya. Apakah ini mahasiswa-mahasiswa yang “idealis”? Mahasiswa-mahasiswa yang berpihak pada kemakmuran rakyat, yang bisa disebut sebagai “agent of change”.

Mengapa timbul pertanyaan-pertanyaan ini?

Dari penampilan para mahasiswa yang melakukan demonstrasi itu, saya meragukan tentang intelektualitas mereka. Dari ekspresi dan mimik wajah mereka, saya meragukan bahwa mereka adalah orang yang “pro rakyat.” Dari dandanan dan asesoris yang mereka kenakan, saya meragukan tentang idealisme yang mereka punya. Dari cara mereka melakukan aksi demonstrasinya yang membuat kemacetan di jalan yang sudah sempit, saya meragukan tentang perjuangan mereka pada kepentingan publik. Tak satupun dari mereka mengenakan jas almamater. Tak sedikit dari mereka yang berdandan ala “punk”. Kebanyakan dari mereka mengenakan celana jeans yang kumal. Namun apabila saya menilai mereka dari penampilan saja tentu saya akan melakukan kesalahan klasik. Sebuah buku tak bisa dinilai dari sampulnya saja itu benar adanya. Penampilan mereka yang seperti itu tak menjadikan persoalan apabila yang mereka katakan adalah suatu kebenaran. Karena kebenaran adalah kebenaran apabila keluar dari seorang budak sekalipun. Bukan begitu?

Namun setelah membaca artikel diatasnamakan aliansi yang menaungi para demonstran mahasiswa itu, keraguan saya semakin kuat. Dalam artikel yang ditulis di atas kertas buram kecil itu terdapat pesan-pesan provokatif, pesan-pesan yang menuntut perubahan tanpa memberikan alternatif solusi, terdapat tuduhan-tuduhan tak berdasar, tercecer asumsi-asumsi pribadi yang saya meragukan obyektivitasnya, terdapat kalimat-kalimat apatis dan pesan-pesan hujatan dan celaan. Setelah membaca artikel itu maka kesimpulan saya tentang ke-tong kosong-an para demonstran mahasiswa tadi cukup kuat. Menurut pribadi saya, mahasiswa tak seharusnya menyebar pesan kebencian dan hujatan tanpa bukti. Tak seharusnya mahasiswa menjadi provokator yang hanya membuat panas suasana. Tak semestinya para mahasiswa menuntut perubahan tanpa memberikan alternatif solusi. Seharusnya mahasiswa itu sendirilah yang menawarkan solusi dan menjadi solusi, bukan sebagai kelompok yang hanya bisa menuntut dan ketika ditanyai tentang solusi mereka acuh tak acuh seakan-akan itu bukan urusan mereka. Tak semestinya para mahasiswa memberikan tuduhan-tuduhan dan asumsi-asumsi pribadi yang diragukan obyektivitasnya karena tuduhan dan asumsi yang mereka lontarkan tak mempunyai dasar yang kuat. Belum lagi para demonstran yang melakukan aksinya diwarnai dengan aksi anarkis. Merusak fasilitas umum, membuat kericuhan, melakukan aksi kekerasan, yang semuanya merugikan banyak pihak.

Agaknya para mahasiswa yang gemar melakukan aksi demonstrasi sekarang ini termakan oleh jargon-jargon yang ada bahwa mahasiswa adalah “agent of change”, mahasiswa adalah kelompok intelektual muda yang “pro rakyat”, mahasiswa adalah parlemen jalanan dan partai jalanan yang berlaku sebagai pihak oposisi pemerintah. Dan karena menelan mentah-mentah jargon-jargon itu tak sedikit para mahasiswa salah kaprah dan salah jalan dalam melakukan aksinya seperti apa yang sering terjadi akhir-akhir ini. Tak sedikit mahasiswa memiliki paradigma yang salah, “Mahasiswa yang idealis adalah mahasiswa yang selalu melakukan aksi demonstrasi dan memprotes dan menghujat kepemerintahan”. Tentu paradigma ini tak terucap apalagi tertulis. Namun paradigma ini sudah tertancap dan tertanam hingga “sang mahasiswa yang terhormat” tak sadar bila sudah menganut paradigma ini. Dan bila para mahasiswa yang gemar melakukan demonstrasi membaca tentang pendapat saya ini tentu mereka akan langsung menyangkal.

Sudah saatnya para mahasiswa sekarang menjadi pembela kepentingan rakyat seekaligus menjadi partner pemerintah. Kalangan yang obyektif dalam menghadapi permasalahan, bukannya mengutamakan pendapat dan asumsi pibadi. Kalangan yang tidak terrmakan oleh provoaksi. Kalangan yang tidak hanya menghujat dan mengecam, namun kalangan yang menawarkan solusi. Kalangan yang berpikiran dingin, bukannya kalangan yang menyelesaikan segala sesuatu dengan menegangkan urat-urat mereka. Bukannya kalangan yang hanya menuntut, tapi kalangan yang menawarkan diri untuk mengatasi permasalahan. Menjadi kalangan yang lebih mengutamakan musyawarah dan mufakat, bukannya otoriterisme ala mahasiswa. Kalangan yang menomorsatukan diskusi, bukannya berkoar-koar di pinggir jalan tanpa ada hasil.

Sudah saatnya Indonesia berubah, sudah saatnya para pemuda berubah, dan sudah saatnya paradigma mahasiswa berubah. Demi kejayaan Indonesia, kita semua, para pemuda, harus berubah.

Semangat untuk kita semua!

Sedikit Tentang Diriku

Foto saya
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Lelaki yang selalu ramai dalam kesepian dan sepi dalam keramaian.. wah kayak lirik lagunya almarhum Chrisye ya..