Kamis, 05 November 2009

Keseimbangan Itu Sulit


Benar-benar tak mudah untuk terus berpikiran objektif. Sangat berat untuk terus berusaha berada di tengah. Lebih mudah untuk berada di salah satu sisi. Tak perlu repot dengan keseimbangan. Tak perlu harus memikirkan sisi lain. Yang dipikirkan hanyalah sisinya saja. Sisi keegoisannya. Tak perlu harus memikirkan kepentingan orang lain, yang ada adalah idealisme egoisme. Bukan lagi idealisme.
Saat mencoba untuk berada di tengah. Untuk berada pada titik netral. Untuk berada di titik nol. Untuk tidak memihak siapapun kecuali pada kebenaran dan keuntungan pada semua pihak. Itu bukanlah perkara yang mudah. Menjadi penengah penuh dengan resiko. Bayangkan bila kita berada di tengah tengah ruas jalan. Untuk terus berdiri tegak dan tidak jatuh dan tertabrak oleh laju kendaraan dari depanmu dan dari belakangmu. Untuk terus teguh di atas kaki pendirian kita. Untuk terus berada sebagai titik penyeimbang dari dua kepentingan yang seakan berlawanan. Bayangkan sebuah timbangan. Besi penyangga sebagai penyeimbang yang berada di tengah itu akan mendapatkan beban terberatnya saat kedua sisi ada pada titik yang sama, yaitu keseimbangan. Pada saat itu, besi itu benar benar menanggung beban terberatnya. Beda apabila timbangan itu tidak berada dalam kondisi keseimbangan. Ekstrimnya, apabila salah satu sisi cawan timbangan itu telah menyentuh tanah dan cawan sisi yang lain tinggi berada di atas permukaan, maka besi penyangga itu benar benar menanggung beban terringan yang ia dapat.
Dari perumpamaan itu, walaupun dari sebuah benda mati tapi tak beda halnya dengan kita. Tak beda dengan manusia. Tak mudah untuk menjadi seorang penyeimbang, seorang negosiator, seorang penengah, seorang pendamai, menjadi orang yang netral, dan menjadi orang yang tetap objektif dalam menilai suatu fenomena. Tak jarang seakan kita mengambil gampangnya saja dengan berpihak pada satu sisi saja, dan kita pun menanggung beban yang sama sekali tidak berat. Tak mau ambil pusing dan “mungkin” kita seakan bebas dari segala beban pikiran. Tapi itu hanya untuk sementara. Tapi pada akhirnya, dengan memilih sikap yang seperti itu, kita akan merugi. Karena kebenaran dan keadilan akan tetap memenangkan kehidupan ini pada akhirnya.
Banyak orang berdalih “mau bagaimana lagi?”, dan itu mereka jadikan sebagai sebuah alasan untuk tidak berada di tengah, untuk menjadi subjektif, untuk netral, untuk terus berada pada posisi seimbang, untuk tidak mau ambil pusing terhadap suatu fenomena. Sejatinya mereka punya pilihan untuk menentukan sikap mereka. Untuk berada di sisi mana mereka akan bersikap. Kanan, kiri, atau tengah. Jika ada yang mengatakan, “tidak ada pilihan”, maka mereka adalah orang orang yang menyerah untuk mencoba. Memang berat untuk mencoba berada di tengah dan tetap seimbang, namun itu bukanlah kemustahilan. Kita telah diberkahi seonggok otak dengan akal. Tak sepatutnya kita menyerah. Tak pantas untuk menunjuk keadaan, kondisi, orang lain atau Tuhan sebagai kambing hitam. Telah lebih dari cukup untuk kita dengan akal ini. Dan dengan iman dan keyakinan, otak didinginkan olehnya.
Bersyukurlah bagi orang orang yang berperan menjadi penengah, menjadi penetral, menjadi penawar, menjadi penyeimbang. Sebuah peran yang mulia yang mereka perankan. Mereka tak terlihat, mereka tak terpandang, mereka juga mungkin dilupakan. Namun apa yang telah mereka perbuat tak akan pernah lekang oleh waktu. Peran mereka yang selalu dirindukan oleh manusia, apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka hasilkan akan dinikmati oleh semua sisi yang mereka seimbangkan. Dan dengan adanya keseimbangan itu, mereka telah cukup dipuaskan. Mereka tak ingin rasa terima kasih dari yang mereka seimbangkan, dari yang mereka damaikan, dari yang mereka ketengahkan. Mereka berbuat itu hanyalah untuk kepuasan batin. Mereka tak ingin dikenang, apalagi dipuja. Mereka hanya ingin bahwa kebenaran dan keadilan adalah yang terbaik. Mereka tak ingin disanjung, mereka tak ingin pujian. Tapi cukuplah bagi mereka, keseimbangan dari sisi yang mereka seimbangkan. Bukan diri mereka yang ingin disanjung, bukan diri mereka yang ingin dipuja, bukan diri mereka sendiri yang ingin disembah. Tapi mereka ingin keadilan dan kebenaranlah yang disanjung, dipuja dan disembah. Terpujilah mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sedikit Tentang Diriku

Foto saya
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Lelaki yang selalu ramai dalam kesepian dan sepi dalam keramaian.. wah kayak lirik lagunya almarhum Chrisye ya..